gantungankoran photo gantungankoranblogspot.gif
 photo cooltext1129630648.gif

Teater Rakyat

Teater Rakyat
Bre Redana ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 23 Juni 2013


Belum lama ini saya ke Solo. Saat tengah minum kopi di lobi hotel tempat saya menginap di Jalan Slamet Riyadi di dekat Sriwedari, tiba-tiba di jalan utama itu melintas kereta api lengkap dengan uap dan lengkingan peluitnya. Kereta kuno yang diaktifkan lagi beberapa tahun terakhir ini melayani rute Stasiun Purwosari-Sangkrah, Solo.
Kereta api, wayang orang Sriwedari, Gladak berikut aneka rupa makanan dan jajanan, serta Pasar Triwindu yang telah direvitalisasi, semua menambah kecintaan saya akan Solo. Belum lagi imajinasi yang melekat di memori mengenai ”Solo di waktu malam”. Ah, jadi ingat penjual wedang jeruk di Pasar Kliwon....
Kenyataannya memang dikarenakan memori itulah kebudayaan mengalami keberlangsungan. Evolusi manusia berlangsung seiring evolusi otak manusia, yakni pada bagian cerebral cortex pada 70.000-50.000 tahun sebelum Masehi. Saat itu manusia mulai menorehkan jejak coretan di karang dan kemudian goa-goa. Berikutnya, seiring ditemukannya abjad, torehan ditinggalkan pada lempengan dari tanah, kulit binatang yang dikeringkan, dan lain-lain. Loncatan besar terjadi ketika di Mesir ditemukan tanaman papirus sebagai medium untuk menorehkan tulisan.
Apa arti semua itu? Bukan hanya memori, hidup manusia terbatas umur. Pergulatan manusia dari waktu ke waktu adalah bagaimana melanggengkan memori agar kebudayaan berlanjut. Buku dan microchip komputer adalah bentuk artificial memory atau memori tiruan menyerupai otak manusia yang diandaikan bisa menjaga keberlangsungan kebudayaan. Andaikata kita ”dead”, ada memori yang ditinggalkan. Kehilangan memori sebagai manusia berarti kehilangan identitas.
Dengan demikian, yang disebut kebudayaan adalah hasil proses seleksi memori. Mana yang perlu disimpan pada buku dan memori tiruan lain dengan segala jenisnya serta mana yang sebaiknya kita abaikan saja dan kita lempar ke wilayah oblivious alias terlupakan. 
Persoalan manusia kini adalah pada proses hidup yang berjalan kian cepat. Memori tiruan atau baca teknologi informasi mengalami up dating setiap saat. Apa yang terekam pada teknologi sebelumnya lenyap begitu teknologi yang lebih baru ditemukan.
Hukum pasar dari kapitalisme global adalah bujukan dan tawaran atas sesuatu yang baru, yang lebih baru, yang lebih baru lagi, dan seterusnya. Tak ada tempat bagi yang lama.
Cakrawala yang membentang adalah cakrawala konsumsi dengan aneka produk yang terus memperbarui diri. Apa yang kita pakai kemarin tidak lagi trendi hari ini. Semua gelanggang diubah jadi gelanggang dagang. Dipenjara tidak apa asal tetap kaya.
Kita telah kehilangan pegangan lalu merindukan nabi-nabi baru. Orang berbondong-bondong mencari tokoh yang dianggap telah ”tercerahkan”, mengharap tertetesi motivasi. Dulu di kota kecil saya ada penjual jamu namanya Pak Ngadiran. Sangat piawai bicara. Dalam ingatan saya, para motivator sekarang tak ada yang menandingi Pak Ngadiran. 
Mungkin Anda punya perasaan seperti saya, betapa cepat waktu berjalan. Tiba-tiba sudah pertengahan tahun. Sebentar lagi Lebaran. Setelah itu akhir tahun.
Yang tak kalah membikin saya tersentak, duo Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya menggugat Pekan Raya Jakarta. Acara itu mereka anggap telah kehilangan semangatnya sebagai pesta rakyat.
Hah? Betapa sebagian besar dari kami telah lalai dan terjebak kerutinan. Semestinya yang pertama kali menggugat itu adalah para pengamat kebudayaan urban, para budayawan, atau siapa saja pemikir yang punya perhatian terhadap kebudayaan. Atau juga para wartawan agar tidak melulu menulis romantisisme kerak telur, melaporkan produk termutakhir, sambil memotret SPG yang ayu-ayu.
Kita beruntung punya pemimpin yang masih mencoba menjaga kenangan ketika konsumsi belum segila sekarang. Ketika zaman cukup sederhana seperti sepur yang melintas di depan Sriwedari. Entah itu komedi atau tragedi, dalam teater memori kita semua adalah pemainnya. Mari kita buka layar: teater rakyat dimulai. ●

0 comments:

Post a Comment