gantungankoran photo gantungankoranblogspot.gif
 photo cooltext1129630648.gif

Fundamen, “Grundnorm”, Oknum

Fundamen, “Grundnorm”, Oknum
AB Kusuma ;   Peneliti Senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara UI
SINAR HARAPAN, 25 Juni 2013


Para pejabat dan tokoh, terutama yang bergelar guru besar dan doktor, seyogianya berhati-hati memakai istilah yang berasal dari bahasa asing. Makna yang dikemukakan para tokoh yang “sangat terpelajar”, meskipun keliru, biasanya akan ditiru, padahal ada kemungkinan punya akibat hukum.

Istilah yang artinya paling sering diselewengkan adalah kata “oknum”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “oknum” berarti “penyebut diri Tuhan di agama Katolik; pribadi: kesatuan antara Bapak, Anak dan Roh Kudus sebagai oknum keesaan Tuhan”.

Artinya, kata “oknum” telah didegradasi sedemikian rendahnya dari “bersifat Ketuhanan” menjadi “oknum” yang berarti “orang yang sifatnya kurang baik”. Degradasi kata “oknum” dilakukan oleh tokoh partai politik; kadernya yang terbaik, yang dijadikan pucuk pemimpin partai, bila tersangkut kejahatan akan dinyatakan sebagai “oknum”, agar partainya tidak terseret.

Pejabat di istana kepresidenen pernah menggunakan kata “aubade” untuk acara sore hari penurunan bendera merah putih pada Hari Proklamasi Kemerdekaan.

Arti “aubade” yang benar tercantum dalam KBBI; kata “aubade” berarti “nyanyian atau musik untuk penghormatan pada pagi hari”. Pejabat Istana juga memberi nama gedung di kompleks istana “Bina Graha”.
Padahal, kalau kita merujuk KBBI, “graha” artinya “buaya”. Di KBBI tidak tercantum bahwa “graha” berarti “rumah” atau “gedung” karena bahasa Sansekerta “Grha” biasanya ditransliterasi menjadi “griya” (rumah), bukan “graha”.

Kesalahan memilih kata yang ada kemungkinan menganiaya seseorang, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketuanya, Abraham Samad, menyatakan telah “membredel” mobil yang disangkakan milik Luthfi Hasan Ishaaq. Seharusnya kata yang dipakai adalah “menyegel”. Selain itu seharusnya papan yang ditempelkan di rumah istri Fathanah bertulisan “disegel”, bukan “disita KPK”.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak cermat. Beliau gemar berpidato dengan campuran bahasa Inggris. Sayangnya, kata asing yang diucapkannya kadang-kadang maknanya keliru. Hal itu terlihat pada ucapannya, bahwa beliau tidak akan mencampuri “justice”, padahal, maksudnya, mungkin, tidak akan mencampuri “judiciary”.

Nampaknya beliau lupa bahwa “criminal justice system” di USA (yang pernah disebutnya sebagai negerinya yang kedua) terdiri dari Police, Court and Correctional Institution; sedangkan di Indonesia terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan.

Jadi, sesungguhnya Presiden Yudhoyono membawahi tiga lembaga dalam integrated criminal justice system. Seyogianya beliau bertanggung jawab mempercepat terlaksananya keadilan dengan pedoman delayed justice is injustice. Mengingat pula ajaran Ibn Khaldun, bahwa negara adalah lembaga yang mencegah agar penduduk negeri tidak mengalami ketidakadilan.

Pancasila sebagai Pilar atau Fundamen?

Pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2006, Presiden Yudhoyono mengucapkan pidato berjudul “Menata Kembali Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Beliau mengingatkan, konsensus dasar yang kita sepakati ada empat, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bineka Tunggal Ika.

Istilah yang dipakai adalah “konsensus dasar”, bukan “pilar”. Beliau menggunakan istilah “pilar” untuk kata lain, yaitu freedom atau “kebebasan”, rule of law atau “aturan hukum” dan tolerance atau “toleransi”.
Beberapa tahun kemudian, Dr (HC) Taufiq Kiemas, setelah menjadi Ketua MPR, menyatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita terdiri dari empat pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, Bineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pendapatnya diterima oleh pemimpin MPR.

Singkatnya, masalah timbul karena istilah yang dipakai pemimpin MPR, DPR, dan pemerintah yang tercantum dalam Pasal 34 Ayat (a) UU Nomor 11 Tahun 2008 tidak sesuai dengan teori konstitusi yang dianut oleh Pendiri Negara. Selain itu, “UUD 2002” (UUD 1945 hasil amandemen) ada yang melanggar asas konstitusi (constitutional principles) yang dianut oleh Pendiri Negara.

Dapat dikemukakan bahwa pendapat Ketua MPR itu juga berbeda dengan pendapat Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof Notonagoro (yang menjadi promotor penganugerahan doctor honoris causa kepada Ir Sukarno, juga dikenal sebagai Begawan Pancasila) yang menyatakan bahwa “Pembukaan merupakan dasar, rangka, dan suasana yang meliputi seluruh kehidupan bangsa dan negara, serta tertib hukum Indonesia, sehingga kebaikan hukum positif Indonesia, termasuk UUD, harus diukur dari asas yang tercantum dalam Pembukaan, dan karena itu Pembukaan dan Pancasila harus digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”.

Pernyataan Prof Notonagoro tersebut menunjukkan ada hirarkhi norma dan Pembukaan UUD 1945, termasuk Pancasila yang tercantum di alinea empat adalah staatsfundamentalnorm (pokok kaidah negara yang fundamental) yaitu norma tertinggi.

Artinya ada axiological hierarchy (hirarki nilai) dan hirarki norma. Ada core valuesdan values. Ada grundnorm dan norm yang tercantum di Grundgesetz (UUD). Sama-sama memakai kata grund (dasar) tetapi tingkatnya berbeda. Jauh berbeda dengan “pilar”.

Pancasila adalah “sumber dari sumber”, “fundamen”, “dasar” dari “dasar”. Staatsfundamentalnorm dapat menurunkan “pilar” yang berbeda. Pembukaan UUD 1945 (staatsfundamentalnorm) menghasilkan NKRI. Mukadimah Konstitusi RIS (staatsfundamentalnorm) menurunkan ketentuan yang berbeda, yaitu negara federal; artinya sejumlah pendiri negara kita menyatakan NKRI bukan harga mati.

Beliau-beliau itu memilih “merdeka” (liberty/freedom), “daulat rakyat” (popular sovereignty), republik, dan “persamaan di muka hukum” (equality before the law) sebagai harga mati. Jadi, meskipun staatsfundamentalnorm-nya sama, besar kemungkinan suatu pemerintahan akan mengutamakan “pilar” tertentu, seperti halnya Presiden Yudhoyono yang mengutamakan freedom, rule of law, dan tolerance.
Dalih pemimpin MPR bahwa menurut KBBI kata “pilar” juga berarti “dasar” tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut; Pertama, menurut KBBI, “fundamen” berarti “asas, dasar, hakikat”; “fundamental” berarti “bersifat dasar (pokok)”.

“Pilar” berarti “tiang penguat; dasar (yang pokok)”. Sebenarnya KBBI telah menjelaskan bahwa “fundamen” lebih mendasar dari “pilar”, terlihat dari kata “hakikat” dan “asas”, sedangkan “pilar” sifatnya “penguat” atau “penyokong”. Tetapi sayangnya, ada keterangan di KBBI yang kurang tepat, yaitu bahwa “pilar” berarti “dasar (yang pokok)”.

KBBI disusun oleh puluhan petugas dan penyelia yang kepakarannya tidak sama. Seyogianya pemimpin Pusat Bahasa menjelaskan kepada masyarakat apakah pilar yang berarti “yang pokok” dapat dipertanggungjawabkan seperti yang diterangkan pemimpin MPR.

Kedua, menurut Bung Karno, Pancasila adalah philosofische grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang abadi.

Sebagai insinyur, Bung Karno membuat kiasan (metafora) bahwa membangun gedung itu memerlukan fundamen yang kokoh, mendukung seluruh bangunan, sedangkan “pilar” hanya menyangga sebagian atap bangunan. Artinya, “fundamen” lebih mendasar dari “pilar”.

Ketiga, Dr Radjiman Wedyodiningrat adalah Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang mengimbau agar para anggota mengemukakan gagasan mengenai “Dasar Negara”. Dalam Kata Pengantar buku Lahirnya Pancasila terbitan 1 Juli 1947, menyatakan Pancasila adalah Dasar (Beginsel) Negara. Radjiman menafsirkan bahwa Pancasila adalah suatu demokratisch beginsel, suatu Rechts-ideologie(Cita Hukum ) dari negara kita.

Keempat, dalam bahasa Belanda, “grondslag” padanannya adalah “beginsel” artinya “asas”, “dasar”, atau principle(Inggris).

Tentang Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm

Bulan Juni 2011, Prof Mahfud MD, di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyatakan, staatsfundamentalnorm lebih tinggi daripada grundnorm. Sebab, staatfundamentalnorm berupa ide tentang hukum, sedangkan grundnorm sudah merupakan norma yang tertinggi, yakni UUD. Kemudian, pada Februari 2012, di Metro TV, Prof Mahfud membenarkan pendapat Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saefudin, bahwa UUD adalah grundnorm.

Almarhum Taufiq Kiemas berjasa membangkitkan minat kita mempelajari Pancasila dan UUD 1945. Demikian pula Prof Mahfud adalah “pakarnya-pakar” Hukum Tata Negara. Bagaimanapun, sebaiknya kita menyertakan rujukan untuk mendukung pendapat tentang grundnorm dan staatsfundamentalnorm. Lalu, demi pengamalan Hukum Tata Negara, sebaiknya rumusan di Pasal 34 Ayat (a) UU Nomor 8 Tahun 2011 ditinjau kembali.

Referensi tentang “grundnorm” dan “staatsfundamentalnorm” bisa disimak dari yang diajarkan Prof Djokosutono di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1956. Prof Djokosutono ketika itu juga mengingatkan agar para anggota Konstituante dan opinion leaders yang akan menyusun UUD yang baru memahami teori Konstitusi dan perbedaan paham di antara tokoh-tokohnya.

Kuliah Prof Djokosutono terutama membahas debat antara Carl Schmitt, Hermann Heller, dan Hans Kelsen. Juga mengemukakan pendapat Von Savigny, Rudolf Smend, Paul Laband, George Jellinek, dan Adolf Merkel. Beliau tidak menyebut nama Hans Nawiasky maupun istilah staatsfundamentalnorm.

Buku yang mengemukakan debat tentang grundnorm, antara lain buku karangan David Dyzenhaus, 2003; Peter Caldwell, 1997; Artur Jacobson, dan Bernard Schlink, 2000; dan Carl Frederich, semuanya menyatakan bahwa grundnorm adalah norma tertinggi. Juga Stufenbau der Rechtsordnung menyatakan bahwa grundnorm di atas grundgesetz. Dua-duanya memakai kata “grund” (dasar).


Kemudian, istilah staatsfundamentalnorm dipakai Prof Notonagoro sejak tahun 1953, tetapi beliau tidak menyebut asalnya dari Hans Nawiasky. Tahun 1990 dalam disertasinya, Prof Attamimi menyatakan Hans Nawiasky adalah tokoh yang pertama kali memakai istilah tersebut. Penulis berpendapat pengetahuan kita mengenai teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky perlu didalami lagi. 

Sandiwara Politik Mendukung dan Menolak Kenaikan BBM

Sandiwara Politik
Mendukung dan Menolak Kenaikan BBM
Ardi Winangun ;   Pengamat Sosial-Politik
SUAR OKEZONE, 25 Juni 2013



Kenaikan BBM tidak hanya menimbulkan protes dan perlawanan dari sebagaian masyarakat namun juga menimbulkan keretakan dari Koalisi Sekretariat Gabungan. Sebab PKS menolak rencana kenaikan BBM sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono galau antara mempertahankan atau mengeluarkan partai putih itu dari koalisi.

Setiap ada rencana dan kenaikan BBM, dari berbagai periode pemerintahan, pasti selalu menimbulkan kegaduhan di masyarakat bawah hingga tingkat elit, biasanya gaduh di awal namun selanjutnya reda setelah ditelan isu-isu yang lain.

Kegaduhan yang timbul di masyarakat bawah itu bisa dimaklumi sebab dengan kenaikan harga BBM kehidupan mereka akan bertambah berat. Beratnya hidup dikarenakan pendapatan yang mereka terima tidak bertambah sedang pengeluaran setiap hari semakin besar. Dengan adanya kenaikan BBM pastinya jumlah orang miskin di Indonesia akan bertambah dengan demikian menunjukan pembangunan yang dilakukan pemerintah bisa dikatakan gagal.

Bila masyarakat benar-benar merasakan beratnya hidup dari kenaikan BBM, lain halnya dengan masyarakat menengah ke atas. Pendapatan yang cukup bahkan lebih mampu mengatasi kenaikan harga tersebut. Kenaikan tersebut bagi masyarakat kelas menengah ke atas dirasa tidak terlalu mengganggu pendapatan mereka sehingga masyarakat kelas ini relatif diam bahkan memaklumi kenaikan BBM.

Bagi kelompok ‘oposisi’, kenaikan BBM merupakan isu yang seksi untuk menggempur pemerintah dan mencari popularitas terutama menjelang Pemilu 2014. Pastinya Partai Hanura, Partai Gerindra, PDIP, dan PKS menggunakan isu-isu kenaikan BBM untuk meningkatkan citra dirinya sebagai partai yang pro kepada rakyat miskin. Mereka dengan dalih-dalih tertentu mengemukakan bahwa BBM tidak perlu dinaikan.

Dengan sikap antikenaikan BBM, pastinya PDIP, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan PKS akan mendapat dukungan dan ucapan terima kasih dari rakyat kecil. Ketika partai yang tergabung dalam koalisi yang mendukung kenaikan BBM, PDIP, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan PKS berani berkata lain. Keempat partai itu bersikap lain selain untuk meningkatkan citra juga dikarenakan tidak berada pada posisi pengambil kebijakan sehingga mereka bisa bebas bergerak. Lainnya halnya bila mereka berada pada posisi pengambil kebijakan, tentu kenaikan BBM akan dijadikan pilihan di tengah semakin naiknya harga minyak dunia dan semakin tingginya subsidi BBM. Lihat saja bagaimana sikap PDIP ketika pemerintahan Megawati atau PKB saat pemerintahan Gus Dur menaikkan BBM, pasti partai berlambang banteng moncong putih dan partai berlambang bintang sembilan itu akan mendukung. PKS sebagai anggota koalisi melakukan langkah yang sama dengan PDIP, Partai Hanura, dan Partai Gerindra, dengan maksud tersembunyi untuk menaikkan citra partai mereka yang saat ini terbelit dengan isu korupsi.

Bagi partai koalisi, terutama Partai Demokrat dan Partai Golkar, kenaikan BBM juga dirasa bukan kiamat yang menimpa mereka. Mereka tetap kekeh menaikkaan BBM karena mempunyai kartu truf yang mampu menyelamatkan muka mereka di tengah rakyat kecil? Apa kartu truf itu? Membagi-bagikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Program bagi-bagi duit kepada rakyat kecil ini dulu namanya Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan itu dibagi-bagikan kepada rakyat kecil sebagai kompensansi atas naiknya BBM. Dengan bantuan itu diharapkan daya beli masyarakat kecil tetap terjaga sehingga mereka tidak jatuh miskin.

Bagi partai koalisi terutama Partai Demokrat dan Partai Golkar, BLSM ini sebagai sebuah bentuk untuk menaikkan citra kepada masyarakat. Dengan cara-cara ini maka citra partai-partai koalisi tetap terjaga dan tidak jatuh. Adanya BLSM sendiri menimbulkan protes dari banyak kalangan dengan tuduhan untuk kepentingan politik pada Pemilu 2014.

Dari kenaikan BBM itu siapa yang rugi? Yang rugi pastinya rakyat kecil. Pendapatan yang sudah rendah akan membuat hidup mereka semakin berat ketika semua harga kebutuhan naik, akibat efek domino dari kenaikan BBM. Apapun yang dilakukan oleh partai politik, baik itu penolakan kenaikan harga BBM, dukungan kenaikan BBM, dan pemberian BLSM, semuanya tidak akan menolong mereka. Kalau menolong itu sifatnya hanya sesaat dan sementara, hanya 4 bulan.

Dari kenaikan BBM itu siapa yang untung? Yang untung adalah partai politik, baik yang menolak maupun yang mendukung kenaikan harga BBM. Yang menolak, citra mereka akan naik sebab dirasa partai-partai itu memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Sedang yang mendukung pun citra mereka akan tetap naik sebab ada BLSM. Dengan BLSM maka citra partai pendukung kenaikan BBM akan tetap terjaga bahkan program yang dplesetkan menjadi Beli Langsung Suara Masyarakat itu dianggap sebagai rejeki nomplok bagi rakyat kecil.

Bila partai pendukung kenaikan BBM mengatakan subsidi BBM yang besarnya mencapai Rp193 triliun itu bila dicabut bisa digunakan untuk pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas umum lainnya. Pastinya partai penentang kenaikan BBM juga akan mengatakan anggaran BLSM yang mencapai Rp12,009 triliun itu juga bisa digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umum.

Kenaikan BBM itu memang bagi rakyat kecil adalah derita tapi bagi partai politik adalah sebuah pentas untuk bisa bersandiwara. Bersandiwara? Ya, karena mereka memerankan peran masing-masing agar mendapat tepuk tangan dari penonton (rakyat). BBM naik atau turun itu tidak masalah bagi para politisi sebab mereka orang kaya yang memiliki daya beli yang tinggi. Mereka bersandiwara agar tetap kaya. 

Menakar Reputasi LPTK

Menakar Reputasi LPTK
Fathur Rokhman ;   Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 25 Juni 2013


SIAPA PUN sepakat, semua pihak harus terus meningkatkan kualitas pendidikan. Hal itu bukan saja amanat melainkan juga keniscayaan ketika persaingan global menjadi kenyataan. Lewat pendidikan, rakyat dapat berpikir kritis menyikapi realitas sosial budaya. Dalam tataran praktis, upaya apa yang mampu dilakukan lembaga perguruan tinggi kependidikan (LPTK) untuk mendukung ketercapaian amanat itu?

Keterselenggaraan sistem pendidikan yang relevan dan bermutu merupakan faktor penentu keberhasilan pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional. Karena itu, para pendiri negeri ini menetapkan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu fungsi penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional.

Pembenahan sistem selalu berjalan. Melalui berbagai pengalaman dan uji ahli, kurikulum selalu berubah menuju penyempurnaan. Akhir-akhir ini kita menaruh harapan besar pada kurikulum 2013. Hal itu meningat misalnya bakal disegarkannya pelajaran Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, yang tidak lagi sekadar berisi materi instruktif dan dialogis tetapi mendasarkan fakta dan realitas (SM, 9/ 6/ 13).

Hal itu bisa dikatakan pembaruan besar, untuk tidak menyebut baru, dalam sejarah pendidikan mengingat selama ini kesan materi yang diajarkan di sekolah hanya turun-temurun. Karena itu, reaktualisasi materi pembelajaran merupakan keharusan manakala siswa sangat lekat dengan fenomena media dan perubahan sosio kultural. Pada tataran ini, peserta didik diajak kritis menyikapi semua hal itu.

Mudah? Tentu saja tidak. Guna mencapai semua hal itu, perlu terus meningkatkan kualitas guru harus. Sertifikasi guru yang dijalankan sejak 2007 dan rencananya rampung tahun ini, menjadi program andalan pemerintah. Penyelenggaraannya pun selalu dibenahi sebagai upaya konsisten mewujudkan tenaga pendidik yang berkualitas.

Fasilitas Memadai

Pada tataran itu, LPTK hadir untuk tak hanya menghasilkan output yang berkualitas pula tetapi senantiasa mengawal dan memberikan fasilitas memadai. Fasilitas itu tentu saja berupa kurikulum yang teruji, sarana dan prasarana, serta tenaga pendidik yang berkompeten. Hal mendasar tersebut bisa dikatakan menjadi tolok ukur reputasi LPTK.

Pada lain pihak, sekolah sebagai lembaga pendidikan yang bersifat massal, muncul bersamaan dengan proses industrialisasi yang mengakibatkan terjadinya urbanisasi, vokasionalisasi, dan spesialisasi. Kebutuhan riil di lapangan menjadi alasan. Ketika tidak semua siswa lulusan sekolah menengah atas tak bisa melanjutkan ke bangku perkuliahan, LPTK pun harus memberi solusi.

Pemberian beasiswa full study kepada mahasiswa miskin berprestasi adalah salah satu upaya. Hal itu pula yang dilakukan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sejak 2008, Unnes konsisten memberikan alokasi beasiswa kepada mahasiswa baru yang tidak mampu secara ekonomi namun berprestasi akademik. Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) telah mencatatnya sebagai kampus pertama di Indonesia yang memberikan alokasi beasiswa 20% kepada mahasiswa (unnes.ac.id, 14/11/11).

Di sisi lain, lulusan sekolah menengah kejuruan makin dibutuhkan pada era persaingan kerja. Pasalnya, pada tahapan itu remaja mengalami usia produktif. Unnes sepenuhnya sadar, pemberian beasiswa tidak sepenuhnya memfasilitasi mereka yang ingin  meneruskan ke bangku pendidikan tinggi. Karena itu, penguatan sekolah menengah kejuruan (SMK) pun menjadi salah satu upaya.

Penetapan Jateng sebagai Provinsi Vokasi oleh Gubernur Bibit Waluyo dan Mendiknas (sekarang Mendikbud) Prof Dr Bambang Soedibyo MBA pada 12 April 2008, membuat Unnes merasa punya amanat. Sebagai salah satu LPTK di Jateng, ia melakukan penguatan pada berbagai bidang, salah satunya menggagas SMK berbasis pesantren.

Dalam Rakor dan Sarasehan SMK Pesantren Se-Jawa dan Madura di Ponpes Roudlotul Mubtadiin Jepara (8/5/13), Mendikbud M Nuh mengemukakan, lulusan SMK harus memiliki kemampuan teknis. Usia produktif begitu emanseandainya tidak mempunyai daya saing. Hal itu sekaligus restu yang dilontarkan oleh pengambil keputusan tertinggi bidang pendidikan di negeri ini.

Ibarat rumah yang telah dibangun, siapa yang mau mengisinya? Tiada lain LPTK-lah yang punya peran lebih untuk melakukan pendampingan. Dia harus bisa mengatasi segala macam kekurangan demi ketercapaian pendidikan yang makin berkualitas. Pengembangan, kerja sama, dan penelitian, sinergis dengan upaya tersebut.


Melalui ikhtiar itu, Unnes tak hanya menjaga reputasi sebagai lembaga pendidikan pencetak guru, tetapi bersama pemerintah berupaya solutif dan meneguhkan pendidikan sebagai cita-cita nasional. Atas upaya itu pula, LPTK harus mampu menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tuntutan baru masyarakat modern, bukan hanya jago kandang melainkan juga bisa memberikan kebermanfaatan lebih luas. 

Nasionalisme Ekonomi

Nasionalisme Ekonomi
Fadel Muhammad ;   Pengusaha Nasional
SUARA KARYA, 25 Juni 2013


Percepatan pertumbuhan wirausaha yang berkualitas dan profesional hanya mungkin dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada lulusan perguruan tinggi untuk berkarya. Oleh sebab itu, membangun lapisan wirausaha tangguh di bidang industri berbasis perguruan tinggi sangat diperlukan.

Inilah salah satu poin penting pemikiran Ginandjar Kartasasmita dalam bukunya, Managing Indonesian Transformation, an Oral History, yang dirilis di Singapura (2013), baru-baru ini. Buku itu menarik karena dapat menggugah kesadaran nasionalisme ekonomi kita bahwa national entrepreneurial policy, idealnya berjalan seiring dengan industrial policy demi kemandirian anak-anak bangsa dan kemajuan ekonomi nasional ke depan.

Menyadari ketergantungan impor barang modal yang sangat tinggi dan sebenarnya sebagian barang-barang itu dapat dibuat di dalam negeri, maka harus ada kebijakan pemihakan dari pemerintah untuk memberi kesempatan kepada pelaku usaha dalam negeri mengisi produk itu. Pemerintah Orde Baru sendiri sebenarnya telah merintis dan melaksanakan hal itu meski masih ada berbagai kekurangan.

Sayangnya, pada era pemerintahan sekarang ini, kita justru lebih suka menjadi bangsa pengimpor. Sementara ekspor kita malah didominasi oleh produk sumber daya alam (SDA) yang rendah kandungan teknologi dan nilai tambahnya.

Agar pengusaha nasional dapat lebih besar berpartisipasi memenuhi kebutuhan barang modal, maka Keppres No 10 Tahun 1980 telah disempurnakan menjadi Keppres No 17 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Keppres No 10 Tahun 1980 tentang Tim Pengendali Pengadaan Barang dan Peralatan Pemerintah. Keppres itu demi visi untuk merintis tumbuhnya industri dalam negeri yang dikuasai oleh orang Indonesia sendiri. Maka, suatu skenario disusun untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha nasional berbasis perguruan tinggi untuk mengisi kebutuhann barang modal.

Langkah ini ternyata membuahkan hasil positif. Pemerintah mulai menyadari pentingnya mengurangi ketergantungan impor melalui kebijakan membeli produk yang sudah dihasilkan oleh bangsa sendiri. Pemerintah adalah pembeli terbesar dan penggerak ekonomi terbesar. Kebijakan yang diambil adalah mengaitkan pembelian pemerintah ke industri domestik.

Tentu, hal ini tidak mudah terutama dalam menghadapi orang-orang kementerian teknis. Apalagi, yang menjadi prioritas adalah pelaku usaha kecil dan menengah. Melalui Tim Keppres X, para pengusaha nasional yang mayoritas terdidik di perguruan tinggi diberi kesempatan untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional. Dengan kebijakan inilah, orang-orang seperti saya, Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, Wiwoho Basuki, dipercaya mengerjakan proyek pemerintah yang sebelumnya didominasi oleh pengusaha-pengusaha tertentu.

Saya dengan Bukaka menjadi pemasok fire hydrant, berbagai macam material konstruksi, asphalt mixing plant. Bukaka pun menjadi rekanan Kementerian PU. Arifin Panigoro yang memulai usaha di oil services berkembang dan mengembangkan sayap usahanya ke electrical power.


Ginandjar sendiri sebelumnya tidak mengenal secara pribadi kawan-kawannya itu yang sama-sama alumnus ITB. Hanya karena pertimbangan profesionalisme, skill dan idealisme bervisi demi kemandirian industri, maka mereka dipercaya menangani proyek-proyek pemerintah. 

Politisasi Media Massa

Politisasi Media Massa
Supadiyanto ;   Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro Semarang,
Dosen pada Jurusan KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 25 Juni 2013


Media massa memiliki relasi sangat kuat dengan terciptanya sejarah dan demokrasi di negeri ini. Sebab, dengan melihat berbagai kliping (koleksi) berita-berita yang sudah disajikan media massa cetak maupun elektronik, kita bisa melihat berbagai realitas politik maupun kenyataan politik yang tersembunyi di balik pemberitaan tersebut.

Pada masa prakemerdekaan, media massa dijadikan alat perjuangan dalam menggelorakan semangat perjuangan mengusir kaum penjajah. Di masa Orde Lama, media massa dikendalikan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan membangun kedigdayaan berbudaya politik. Atmosfer tersebut menciptakan adanya politisasi media massa, di mana setiap partai politik cenderung memiliki media massanya masing-masing. Sedangkan di era Orde Baru, media massa diatur sedemikian rupa (dikekang dan dipolitisir), sehingga mampu menjadi kekuatan ampuh bagi penguasa untuk mendukung legitimasi dan hegemoninya atas publik.

Di zaman Orde Reformasi, media massa menjadi sangat liberal (bebas), bahkan berubah menjadi kekuatan yang ampuh dalam mengontrol pusat-pusat kekuasaan. Kecenderungan yang terjadi selama ini, malahan para praktisi media massa termasuk para konglomerat media massa di Tanah Air berkeinginan menjadi penguasa politik. Entah dengan bergabung atau mendirikan organisasi politik atau dengan mendeklarasikan keikutsertaannya dalam pesta demokrasi lima tahunan bernama pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilu kepala daerah.

Dari analisis politik, pemilu dan pilkada merupakan agenda lima tahunan yang menjadi ajang pertarungan politik paling nyata antara para politikus, pemilik modal (pebisnis), akademikus, peneliti dan massa. Sah-sah saja para pemilik media massa memiliki kepentingan besar dalam berbagai momentum politik berupa pesta demokrasi. Sebab hajatan politik berupa pemilu dan pilkada, akan mengubah tatanan politik dalam skala nasional dan lokal. Implikasinya sangat luas, pergantian kepemimpinan nasional maupun lokal berpengaruh besar pada berbagai kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan hingga pertahanan dan keamanan.

Sangat wajar, para konglomerat media massa berlomba-lomba dalam memberikan dukungan politik maupun finansial kepada para kandidat pemimpin, entah mereka yang memperebutkan jabatan eksekutif maupun legislatif. Dengan harapan, adanya pergantian atau pemertahanan pucuk-pucuk pimpinan di berbagai institusi pemerintahan, secara tidak langsung memberikan keuntungan bisnis pada keberlangsungan eksistensi media massa yang dimiliki.

Kompetisi bisnis antara para konglomerat media massa, akhirnya tidak murni bersinggungan dengan masalah perebutan pangsa pasar yang terbuka bebas (likuid). Melainkan sudah memasuki wilayah pengaruh politik, di mana masing-masing konglomerat media merasa memiliki kepentingan politik untuk melipatgandakan keuntungan bisnis perusahaan media, sekaligus kalau bisa menancapkan pengaruhnya pada pusat-pusat kekuasaan. Sebab pusat-pusat kekuasaan itu sangat efektif dalam mempengaruhi pasar atau masyarakat.

Terjunnya para konglomerat media massa dalam dunia politik, apakah dapat dikatakan akan mengurangi idealisme media massa dan juga berpengaruh negatif pada masa depan politik di Indonesia? Pertanyaan di atas, sangat tepat menjadi bahan penelitian/kajian lintas sektoral, khususnya para peneliti politik, tata negara, hukum dan psikologi komunikasi. Sebab dengan keterlibatan para pengusaha media massa, misalnya Surya Paloh yang memiliki Media Group (Metro TV, Media Indonesia, Lampungpost dan lain-lain) melalui Partai Nasional Demokrat, dan Dahlan Iskan yang memiliki Jawa Pos Group kini menjadi Menteri BUMN, jelas berpengaruh besar pada kemurnian media massa dalam mencerdaskan publik.

Sebab, pada konteks itu, Media Group akan memiliki "sikap ganda" dalam memberitakan berbagai hal yang berkaitan dengan Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat serta berita-berita yang dinilai sebagai kontrapolitiknya. Begitu pun dengan Jawa Pos Group, tentu saja akan memiliki "ambiguitas" dalam menentukan sikap ketika mengkritisi keburukan/kekurangan yang dimiliki oleh Dahlan Iskan, Kementerian BUMN dan jajaran di bawahnya.

Dalam teori ekonomi politik media, sebuah gagasan yang dimunculkan oleh kelompok pemikir dari Frankfurt School Jerman, menyatakan bahwa berbagai kebijakan redaksional yang digulirkan oleh perusahaan-perusahaan media massa sangat terdekteksi oleh berbagai kepentingan ekonomi (bisnis) dan kepentingan politik (kekuasaan) dan menihilkan pengaruh idealisme dalam mendirikan media massa. Hal ini menyebabkan adanya fenomena persekongkolan (konspirasi) antara para politikus dan pengusaha media massa. Sebab para politikus memiliki kepentingan untuk mempublikasikan berbagai pemikiran dan gagasannya agar diketahui publik, sedangkan media massa membutuhkan sumber-sumber berita yang mampu menarik minat dari kalangan pembaca, pendengar dan pemirsa.

Dengan terjunnya para pengusaha media massa (konglomerat media), teori politik ekonomi media massa tersebut seolah lebur dalam satu pihak. Kini para pengusaha media massa itu sekaligus yang menjadi politikusnya. Artinya, mereka akan menggunakan perusahaan media massa yang dimiliki sebagai alat propaganda. Yakni, menyosialisasikan berbagai manuver-manuver politik maupun nonpolitik yang dimiliki oleh pengusaha media massa yang telah berprofesi ganda menjadi politikus tersebut, untuk merealisasikan keinginan atau cita-cita (ambisi) politik para pemilik media massa atas kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Politik hegemoni dan hegemoni politik akan mendera kehidupan bangsa ini, ketika negeri ini dikuasai oleh para politikus yang notabene-nya para pemilik atau konglomerat media massa. 

Membangun Solidaritas

Membangun Solidaritas
Herman Busri ;   Mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 25 Juni 2013


Dewasa ini tindak kejahatan cenderung meningkat. Aksi-aksi brutal menjadi-jadi dan kian marak di tengah masyarakat. Berbagai bentuk kejahatan yang semakin memprihatinkan itu baik perampokan dengan menggunakan senjata, kejahatan berupa pembunuhan dengan cara dimutilasi, sodomi, pemerkosaan, bahkan sampai menghamili anak kandung sendiri menyayat nurani peradaban.

Kejadian semacam ini tentunya bukanlah masalah ringan dan biasa, tetapi sudah luar biasa. Diperlukan penanganan super serius dari pihak berwenang di samping tentunya bantuan masyarakat. Partisipasi semua pihak akan sangat membantu penanganan tindak kejahatan yang sering terjadi saat ini.

Tindak kejahatan yang sering terjadi khususnya di perkotaan adalah salah satu dampak dari kompleksitas permasalahan yang sebenarnya sangat beragam di tengah kehidupan masyarakat. Banyaknya persolan yang dihadapi oleh masyarakat dan tidak bisa menemukan solusi untuk kenyamanan bersama sehingga mengakibatkan persoalan itu berakhir dengan landasan emosi (amarah) dan nafsu belaka. Bahkan, jalan pintas yang dianggap sebagai penyelesaian amarah itu menghabisi pihak yang dianggap sebagai penghalang meskipun harus membunuh, dan sejenisnya. Tindak yang malah bertolakbelakang dari upaya penyelesaian persoalan dan akhirnya sebagai tindak yang tidak wajar.

Kejahatan-kejahatan itu mempunyai motif beragam dan tujuan yang beragam pula. Mulai dari keinginan untuk menguasai harta (ekonomi), kecemburuan, sampai pada hanya pelampiasan nafsu birahi belaka. Persoalan tersebut tentunya tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi.

Persoalan tindak kejahatan memang menjadi momok yang menakutkan dikalangan masyarakat. Harapan besar dari semua pihak tentunya masalah kejahatan segera dihentikan dan dapat "diakhiri". Karena kejahatan akan mengganggu ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat, peningkatan keamanan harus benar-benar berjalan agar tidak ada korban dikemudian hari.

Pihak keamanan yang telah dibebani tugas mulia untuk menjaga keamanan masyarakat diminta bekerja keras sekuat tenaga untuk meminimalisir tindak kejahatan yang semakin sering terjadi ditengah masyarakat. Pihak keamanan kiranya perlu memaksimalkan segala upaya, agar sistem keamanan benar-benar berjalan sesuai dengan harapan bersama.

Namun, bukan hanya pihak kemanan yang dibebani tugas ini, semua pihak harus memberi dukungan penuh dan membantu terjalinnya keamanan ditengah-tengah masyarakat. Terutama dikalangan masyarakat itu sendiri, antara individu dengan individu lain harus saling menghormati dan saling memahami antara sesama.
Secara lebih luas perhatian ekstra dari pemerintah untuk menyokong aparat yang bertanggungjawab juga perlu ditingkatkan, seperti yang menyangkut sarana dan prasaran yang memadai agar aparat terkait bisa berfungsi secara maksimal. Sehingga, pada akhirnya tindak kejahat dapat diatasi.

Kebanyakan persoalan pelik dan tindak kejahatan yang terjadi adalah diwilayah perkotaan, sekalipun tak jarang juga terjadi di pedesaan. Argumen ini bisa dikuatkan dengan adanya persaingan pola hidup yang ketat, persaingan mendapat pekerjaan, sikap individualistik, dan yang terpenting adalah kurangnya interaksi antar masyarakat. Sehingga solidaritas antar sesama berkuang malah bisa hilang. Karena, mereka mempunyai anggapan hidup hanya selesai dengan memperkuat dan memperkaya diri sendiri dan tak perlu peduli terhadap orang lain.

Kurangnya komunikasi antar sesama ini mengakibatkan renggangnya hubungan sosial dan timbulnya kecemburuan sosial. Pola kehidupan perkotaan yang individualistik ini semestinya dihindari dengan cara selalu berinteraksi antar masyarakat, kerja bakti, dan lain sebagainya. Dengan demikian keamanan warga akan terjamin, dan akan mengurangi tindak kejahatan yang semestinya terjadi.

Interaksi sosial menjadi satu media bagi setiap komponen masyarakat untuk saling dekat dan mempunyai sikap kekeluargaan yang tinggi. Karena terbukti bahwa kehidupan masyarakat diperkotaan hanya mengenali seseorang karena kepentingan semata, ironisnya banyak orang yang tidak kenal dengan tetangganya sendiri yang bahkan rumahnya berdempetan. Pola semacam ini perlu diperbaiki dengan cara sering berkomunikasi dengan warga terdekat terutama.

Tindak kejahatan kadang bukan karena tingkat keamanannya yang kurang dan lingkungan yang buruk. tetapi bisa lahir dari sifat keji seseorang. Faktor ini kadang disebabkan adanya lingkungan keluarga yang tidak harmonis, sehingga pola kekerasan itu tumbuh dan malah mengakar pada dirinya.

Jika banyak orang yang mempunyai kepribadian buruk dan mengancam keamanan orang lain, tentunya jawaban atas masalah ini bukanlah hanya keamanan yang terus mengusiknya. Akan tetapi, kesadaran pribadi orang tersebut adalah yang terpenting guna mengakhiri kelakuan bejatnya tersebut. Di sini diperlukan semacam "terapi sosial".

Ada banyak orang yang pada mulanya tidak mempunyai bakat dalam melakukan kejahatan, akan tetapi karena mereka tergoda akhirnya melakukan tindak kejahatan. Nah, tentunya ini sudah menyangkut kepribadian orang tersebut terkait lingkungannya. Tantangannya adalah bagaimana ada kepedulian sehingga sebisa mungkin menjinakkan niat buruknya tersebut.

Dalam ajaran agama manapun pastinya ada ajaran dan hukum-hukum yang menyangkut kelakuan baik dan buruk. Bagi siapa saja yang berkelakuan buruk akan disiksa dikemudian hari (akhirat) dan mereka yang berkelakuan baik akan diberikan pahala.


Setiap manusia beragama dianugerahi pandangan dan keyakinan berbuat baik terhadap sesama. Namun, nilai itu adakalanya dikalahkan oleh nilai-nilai yang mengusik solidaritas yang seharusnya bisa dibangun bersama atas kebersamaan yang tinggi. 

Koalisi Khas Indonesia

Koalisi Khas Indonesia
Sulastomo ;   Koordinator Gerakan Jalan Lurus
SUARA KARYA, 24 Juni 2013


Polemik antara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Setgab Koalisi Pendukung Pemerintahan SBY-Boediono, mengesankan begitu ruwetnya kondisi perpolitikan nasional kita. Baik PKS maupun Setgab mengklaim pro-rakyat dan demi kepentingan nasional, sekaligus menuduh pihak lain sebagai tidak pro-rakyat dan hanya mementingkan kepentingan politiknya menjelang Pemilu 2014.

Kalau kita mecermatinya dari etika politik yang lazim, semua itu merupakan hal yang tidak biasa untuk tidak mengatakannya sebagai "keanehan". Semua itu, sudah tentu tidak terlepas dari sistem politik kita yang memang khas Indonesia sekarang. Koalisi yang kita jalani sekarang adalah model Indonesia. Mengapa?

Koalisi (semestinya) diterapkan dalam sistem parlementer. Dukungan partai anggota koalisi diperlukan agar kebijakan pemerintah memperoleh dukungan mayoritas suara parlemen. Sebab, kalau kebijakan pemerintah tidak memperoleh dukungan suara mayoritas, apalagi ditolak, pemerintah bisa jatuh. Hal ini pernah kita alami ketika Indonesia menerap kan sistem parlementer di era tahun 1950-an.

Demokrasi kita waktu itu dikatakan sebagai "demokrasi liberal." Kondisi politik waktu itu juga ditandai dengan banyak partai. Pemerintah jatuh bangun dalam bilangan bulan, sehingga kelangsungan pembangunan terhambat. Bahkan, kabinet yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dikatakan sebagai paling demokratis pun (Pemilu 1955), yang didukung koalisi partai pemenang pemilu (PNI/Masyumi/NU), hanya dapat bertahan 17 (tujuh belas) bulan.

Begitu juga Konstituante, bersidang selama lima tahun menemui jalan buntu dalam menetapkan dasar negara. Karena itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945. Maka, terbentuklah kabinet presidensial sesuai dengan UUD 1945, di mana Bung Karno sebagai kepala negara sekaligus memimpin kabinet (perdana menteri) dibantu beberapa wakil perdana menteri. Dalam pembentukan kabinet, suara mayoritas DPR tidak lagi menjadi rujukan alokasi pembagian jabatan menteri.

Kini, Indonesia dikatakan sebagai penganut sistem presidensial. Presiden dipilih langsung sehingga juga bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Tetapi, DPR--yang bertugas melakukan pengawasan, penyusunan APBN dan undang-undang (UU), akan dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Ini bisa terjadi kalau dalam pembentukan kabinet, presiden tidak memperhatikan suara partai di DPR.

Terbentuklah setgab koalisi yang terdiri dari partai-partai pendukung pemerintah. Dalam kondisi seperti itu, kedudukan eksekutif akan sangat kuat, sehingga dapat muncul apa yang dikhawatirkan sebagai "diktator 
mayoritas". Mekanisme check and balance bisa terganggu kalau persepsi koalisi dalam sistem parlementer diberlakukan dalam sistem presidensial. Politik di Indonesia (sekarang) memang bukan business as usual.


Inilah risiko kita dalam menuju demokratisasi. Proses demokrasi memang harus ditempuh secara bertahap, sejalan dengan persepsi kita tentang demokrasi itu sendiri. Kristalisasi partai-partai politik akan terus berlanjut sehingga hanya partai yang mampu memahami aspirasi rakyat yang akan tetap eksis. Pemilu 2014 mungkin akan menjadi saksi kristalisasi bagi partai-partai politik kita sehingga jumlah partai akan menurun. 

Inilah hikmah polemik PKS versus partai Setgab Koalisi. Ketika itu, sistem presidensial akan menguat. Insya Allah. 

Prospek Inflasi Pasca-Kenaikan Harga BBM

Prospek Inflasi Pasca-Kenaikan Harga BBM
Sunarsip ;   Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
KORAN TEMPO, 25 Juni 2013


Kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya diambil tahun lalu. Dan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi seharusnya juga dirasakan tahun lalu. Pemerintah dan politikus di DPR juga memiliki andil di balik keterlambatan kebijakan menaikkan harga BBM ini.
Setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 disahkan DPR, pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi pada 22 Juni 2013. Kebijakan menaikkan harga BBM ini sudah dapat diperkirakan menyebabkan kenaikan inflasi. Namun saya berpendapat bahwa inflasi yang diperkirakan tinggi pada tahun ini sesungguhnya merupakan inflasi yang "tertunda" yang seharusnya terjadi pada tahun lalu. Dengan kata lain, inflasi tahun ini dapat dikatakan sebagai "koreksi" atas inflasi rendah yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini. Kenapa saya katakan demikian?
Dalam dua tahun terakhir ini, inflasi kita memang rendah. Inflasi 2011 sebesar 3,79 persen dan pada 2012 sebesar 4,3 persen. Realisasi inflasi 2011 dan 2012 tersebut jauh di bawah asumsi APBN, yaitu sebesar 5,65 persen (APBN 2011) dan 6,8 persen (APBN 2012). Rendahnya tingkat inflasi selama dua tahun terakhir inilah yang menyebabkan Bank Indonesia (BI) mampu mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada level yang rendah, yaitu sebesar 5,75 persen sebelum dinaikkan menjadi 6 persen pada Mei 2013.
Sayangnya, banyak yang tidak menyadari bahwa rendahnya inflasi dalam dua tahun terakhir tersebut ternyata "memakan" biaya yang mahal, karena dibiayai oleh subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik) yang besar. Padahal, bila mengacu pada situasi harga minyak mentah, pada 2012, harga BBM sudah sewajarnya dinaikkan. Harga minyak mentah selama 2012 naik cukup tinggi. Rata-rata Indonesian crude price (ICP) pada 2010 sebesar US$ 79,4 per barel, meningkat drastis menjadi US$ 111,55 per barel pada 2011 dan kembali meningkat menjadi US$ 112,73 per barel pada 2012. Pada 2013, ICP diperkirakan lebih rendah, tapi tetap di atas US$ 100 per barel menjadi US$ 106 per barel.
Sayangnya, selama 2012, pemerintah tidak memiliki ruang untuk menaikkan harga BBM. Asumsi harga minyak yang dipatok APBN 2012 cukup tinggi. Sementara itu, UU APBN-P 2012 mensyaratkan pemerintah hanya boleh menaikkan harga BBM bila realisasi ICP mencapai 15 persen di atas asumsi yang ditetapkan APBN sebesar US$ 105 per barel atau sebesar US$ 120,75 per barel. Padahal realisasi ICP selama 2012 hanya US$ 112,73 per barel.
Konsekuensi dari tidak adanya ruang untuk menaikkan harga BBM adalah subsidi energi yang ditanggung APBN membengkak. Realisasi subsidi energi mencapai sekitar Rp 255 triliun (2011) dan Rp 306 triliun (2012). Realisasi subsidi energi ini jauh melampaui target yang ditetapkan APBN, yaitu sekitar Rp 195 triliun (2011) dan Rp 275 triliun. Konsekuensi dari tingginya subsidi energi menyebabkan kesehatan fiskal menurun. Keseimbangan primer (primary balance) APBN kita telah defisit, suatu kondisi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Pada 2011, keseimbangan primer masih surplus Rp 8,9 triliun. Namun, pada 2012, keseimbangan primer defisit Rp 45,5 triliun. Pada APBN-P 2013, defisit keseimbangan primer diperkirakan meningkat menjadi Rp 120,8 triliun.
Rendahnya kemampuan fiskal inilah yang akhirnya "terbaca" oleh pelaku pasar. Kita menyaksikan, dalam beberapa bulan terakhir ini, nilai tukar rupiah tertekan, hingga tembus level psikologis 10 ribu per dolar Amerika Serikat. Terlebih lagi, neraca perdagangan kita selama 2012 juga mengalami defisit. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga BBM ini akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah? Ini yang sekarang menjadi tanda tanya. Kenaikan harga BBM memang akan menolong posisi fiskal. Tentunya, ekspektasi pelaku pasar terhadap APBN kita juga menjadi lebih baik. Namun situasi ini belum tentu akan serta-merta menaikkan nilai tukar rupiah. Sebab, situasi sekarang sudah berubah.
Pada saat kebijakan kenaikan harga BBM diambil, nilai tukar rupiah sudah tertekan. Penyebabnya, bank sentral AS, The Fed, mengumumkan akan menghentikan kebijakan quantitative easing (QE) yang sudah diterapkan sejak 2008. The Fed melihat bahwa pemulihan ekonomi AS sudah terlihat hasilnya. Maka kucuran dolar AS terhadap perekonomian Amerika sudah saatnya dikurangi. Konsekuensinya adalah suku bunga acuan The Fed akan naik. Kenaikan suku bunga The Fed ini tentunya akan mendorong terjadinya pembalikan modal dari emerging market (termasuk Indonesia) masuk ke pasar AS. Nah, kondisi inilah yang menyebabkan dolar AS mengalami penguatan yang diikuti oleh pelemahan sejumlah mata uang lainnya (termasuk rupiah).
Sayang memang, kebijakan yang positif (kenaikan harga BBM) tetapi terlambat, akhirnya menemukan momentum yang kurang tepat. Untuk menaikkan kembali nilai tukar rupiah, tampaknya pemerintah dan BI harus melakukan upaya tambahan, di luar mengandalkan dampak positif yang diharapkan dari perbaikan sisi fiskal.
Suku bunga
Jelas bahwa kebijakan menaikkan harga BBM saat ini adalah sesuatu yang terlambat. Kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya diambil tahun lalu. Dan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi seharusnya juga dirasakan tahun lalu. Namun tak perlu harus mencari kambing hitam di balik keterlambatan kebijakan menaikkan harga BBM ini. Pemerintah dan politikus di DPR juga memiliki andil di balik keterlambatan kebijakan menaikkan harga BBM ini.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, kenaikan harga BBM sekitar 30 persen diperkirakan menaikkan inflasi sebesar 1 persen (first round). Namun perlu dipertimbangkan dampak lanjutan (second round) dari kenaikan harga BBM ini. Pengalaman pada 2005, second round effect-nya dapat mencapai dua kali dari inflasi first round. Sehingga dampak kebijakan menaikkan harga BBM sekitar 30 persen ini terhadap inflasi dapat mencapai 3 persen. Ditambah dengan adanya beberapa peristiwa musiman, seperti Ramadan, Idul Fitri, dan liburan, inflasi 2013 diperkirakan bisa mendekati 8 persen. Beruntung, pada tahun ini tidak terjadi lonjakan harga komoditas pangan seperti pada 2008. Maka inflasi tahun ini dapat ditekan di bawah 10 persen.
Begitupun, kita juga perlu mencermati inflasi yang berasal dari volatile foods yang timbul akibat melambatnya pasokan. Sementara itu, inflasi akibat kebijakan harga (administered prices) masih berpotensi terjadi, terutama berkaitan dengan tarif listrik tahap kedua dan kelangkaan LPG. Karenanya, untuk menjaga level inflasi yang kondusif, sebaiknya pemerintah menunda kenaikan tarif listrik tahap kedua ini. Hal yang tak kalah penting adalah juga menjaga pasokan LPG, khususnya LPG 3 kilogram.
Pengendalian inflasi pada tahun ini akan memiliki arti yang penting bagi perekonomian. Inflasi yang tinggi biasanya akan ikut mengerek suku bunga. Pada umumnya, BI Rate berada sekitar 1-2 persen di atas inflasi. BI Rate saat ini sudah mencapai 6 persen, dan peluang untuk naik tetap terbuka karena ekspektasi inflasi yang tinggi. Jika BI Rate naik, suku bunga kredit juga berpotensi akan naik, mengikuti pola hubungan yang selama ini terjadi.

Kesimpulannya, pengendalian inflasi akan menjadi kunci pada tahun ini. Bila BI dan pemerintah gagal mengendalikan inflasi, kebijakan menaikkan harga BBM ini berpotensi dapat berdampak kebalikan dari ekspektasi sebelumnya. Karena itu, langkah selanjutnya adalah memitigasi berbagai risiko yang timbul akibat kenaikan harga BBM ini. 

Hal yang Luput dalam Subsidi BBM

Hal yang Luput dalam Subsidi BBM
Herman Darnel Ibrahim ;   Anggota Dewan Energi Nasional (DEN)
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2013


PEMERINTAH telah memutuskan penaikan harga BBM. Masalah belum selesai karena di masa datang akan perlu lagi membuat keputusan serupa. Sebagai pembelajaran ada yang luput dalam pertimbangan pembuatan keputusan.
Di antaranya tentang kebijakan penyesuaian upah buruh dan pegawai rendah, opsi pengurangan subsidi secara bertahap, dan opsi penerapan subsidi dalam jumlah tetap dengan harga BBM mengambang.
Sabtu (22/6), harga BBM di nyatakan naik. Premium dinaikkan 44% dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 per liter dan solar dinaikkan 22% dari Rp4.500 menjadi Rp5.500 per liter. Suatu kenaikan yang cukup besar yang mau tidak mau akan berdampak terhadap harga bahan pokok dan harga komoditas pada umumnya.

Kalaulah kenaikan hargaharga semata memperhitungkan kenaikan komponen biaya yang berhubungan dengan BBM mungkin dampaknya tak akan begitu besar dan mudah dihitung. Pengalaman di masa lalu penaikan harga BBM direspons dengan reaksi yang berlebihan oleh tiap-tiap jenis penyedia komoditas sehingga kenaikan harga tidak semata kandungan BBM dalam biaya, tapi lebih dari itu.

Karena harga hampir semua komoditas naik, penaikan harga BBM tidak hanya berdampak terhadap biaya transportasi, tetapi juga terhadap biaya hidup lainnya secara keseluruhan. Salah satu alasan pokok pengurangan subsidi yang dikemukakan Menteri Keuangan Chatib Basri beberapa waktu lalu adalah karena yang lebih banyak menikmati subsidi tersebut adalah orang kaya. Dengan mengurangi subsidi BBM, beban biaya (transportasi) orang kaya memang akan naik, tetapi karena harga komoditas naik, orang yang kurang berpunya bahkan orang miskin yang sama sekali tidak mengonsumsi BBM akan terkena getahnya.
Kenapa? Karena mereka harus menanggung kenaikan biaya hidup, sedangkan tidak ada kebijakan atau keputusan tentang keharusan penyesuaian gajiupah atau UMR yang dibuat pemerintah bersamaan dengan keputusan tentang BBM. Mereka mengalami pemiskinan, sesuatu yang tidak adil, tentu.

Luput dari pertimbangan

Beberapa minggu terakhir, kita melihat banyak terjadi demo mahasiswa dan juga masyarakat umum baik di pusat maupun di daerah yang menolak penaikan harga BBM (pengurangan subsidi). Ketika sidang paripurna DPR digelar, fraksi-fraksi yang tidak menyetujui APBN-P mengemukakan alasannya karena penaikan harga BBM akan membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan masalah tersebut tak dapat diatasi hanya dengan BLSM.

Pertanyaan yang timbul apakah demo mahasiswa dan masyarakat sungguh karena menolak penaikan harga BBM? Ataukah sebenarnya dapat menerima kenaikan, asal disertai keputusan tentang penyesuaian gaji-upah dan UMR? Begitu pula fraksi-fraksi yang tidak p menye tujui APBN-P, apakah m mereka menolak penaikan harga BBM? Atau dapat menerimanya jika ada keputusan bagaimana mengompensasi beban dampak penaikan har ga BBM yang dialami masyarakat? Hal inilah yang luput dari pertimbangan pemerintah dan DPR serta juga terlewatkan dalam begitu banyak bahasan media.

Pengalaman masyarakat pada setiap penaikan harga BBM dalam jumlah besar, selalu terjadi kenaikan harga bahan pokok dan komoditas pada umumnya, yang tidak dibarengi keputusan penyesuaian gaji-upah dan UMR sehingga masyarakat berpenghasilan rendahlah yang paling berat terbebani.

Ketika mempertimbangkan penaikan harga BBM, Menteri Tenaga Kerja atau pihak lainnya yang membicarakan penyesuaian UMR tidak pernah terdengar dan terlihat keterlibatan mereka. Ini dilihat sebagai tidak adanya upaya memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak menjadi pegawai atau buruh, tentu (insya Allah) ada kesempatan untuk merespons penaikan harga BBM dengan menyesuaikan harga produk atau jasa.

Hal lain yang kiranya terluput dari pertimbangan keputusan adalah mengenai tahapan pengurangan subsidi. Untuk premium, pemerintah memutuskan mengurangi subsidi sebesar Rp2.000 sekaligus dalam satu tahap. Opsi lain adalah mengurangi subsidi dalam beberapa tahap seperti yang ditempuh untuk kenaikan harga listrik, misalnya dengan menaikkan maksimum 5% atau Rp250 per liter setiap tahap dengan tahapan setiap 2 atau 3 bulan. Dengan kenaikan yang tidak begitu besar yang juga sudah sering terjadi pada harga pertamax, penyesuaian harga komoditas tentu akan berlangsung lebih mulus dan lebih bisa dikendalikan dan reaksi berlebihan (over reactive) oleh sektor pengguna dapat dihindari. Jika hal ini ditempuh, penyesuaian harga BBM tentunya (pengurangan subsidi) bisa berlangsung terus sampai subsidi menjadi tidak ada dalam 3 atau 4 tahun ke depan.

Yang juga terluput dari pertimbangan adalah antara memilih subsidi tetap atau memilih harga tetap. Keputusan yang dibuat pemerintah adalah harga tetap, yang dipatok pada angka seperti tersebut di atas. Dengan harga tetap, pemerintah memberikan subsidi per liternya akan berubah ubah mengikuti perubahan harga minyak mentah atau harga minyak dunia. Kalau harga minyak mentah atau minyak impor naik, besar subsidi akan bertambah. Dalam hal ini, risiko kenaikan harga minyak dunia akan menjadi beban pemerintah (APBN) dan penurunan harga minyak dunia akan menjadi `keuntungan' berkurangnya nilai subsidi.

Opsi yang luput dipertimbangkan adalah menerapkan subsidi tetap, misalnya untuk sekarang (setelah kenaikan) sebesar Rp2.500 per liter premium. Dengan opsi ini, harga premium menjadi mengambang dan selanjutnya akan mengalami kenaikan atau penurunan mengikuti tren harga minyak mentah. Ini akan membuat masyarakat belajar dan menjadi terbiasa dengan perubahan harga BBM seperti yang sudah terjadi pada pertamax.

Karena penyedia BBM bersubsidi seluruhnya dilakukan Pertamina, secara teknis dan administratif penerapan subsidi tetap dan harga mengambang dapat dilakukan dengan mudah. Manfaat menerapkan subsidi tetap dan harga mengambang untuk premium dan solar adalah memberikan kesempatan pengurangan subsidi secara bertahap dengan lebih mulus. Mengapa? Karena pemerintah dapat mengatur pengurangan subsidi yang agak besar ketika harga minyak mentah turun, dan jika keadaan memerlukan, tidak melakukan pengurangan subsidi ketika harga minyak mentah naik. Di samping itu, kalau pun menempuh harga tetap pada akhirnya nanti ketika subsidi sudah hapus semua, yang akan terjadi juga harga mengambang.

Keputusan harga BBM yang baru dibuat ini masih menyisakan masalah ke depan karena masih ada subsidi sekitar Rp2.500 lagi untuk per liter premium dan sekitar Rp3.500 lagi untuk per liter solar (ini pun dengan asumsi harga minyak mentah tidak naik). Dengan pertimbangan bahwa perkiraan ke depan harga minyak makin naik, konsumsi sebagian besar harus diimpor. Menyubsidi BBM itu pada hakikatnya menyubsidi emisi CO2 dan merupakan `musuh' pengembangan energi ter barukan. Karena itu, subsidi adalah suatu `penyakit' energi dan ekonomi menahun yang harus kita sembuhkan.

Kita sudah banyak mendengar bahwa pengurangan subsidi sampai habis itu adalah sesuatu yang memiliki dasar ilmiah. Dampak pengurangan subsidi juga memiliki jalan untuk meminimumkannya dan jika pun terjadi seharusnya dipisahkan sebagai masalah tersendiri, dihadapi, dan dicarikan jalan keluarnya (bukan dielakkan). Percayalah untuk bangsa kita pengurangan subsidi itu hanya sedikit ketidakenakan yang akan membawa banyak nikmat di masa depan.

Saat ini, konsumsi minyak bumi masih sekitar 45% dari konsumsi energi primer nasional dan konsumsi energi transportasi sekitar 30% dari konsumsi energi primer. Idealnya penggunaan BBM hanya untuk transportasi, ditambah sedikit untuk kelistrikan dan rumah tangga. Jika sebagian BBM transportasi menggunakan BBN, tantangan kita adalah mewujudkan pengurangan konsumsi BBM menjadi 30% saja dari total energi primer. Pemerintah perlu be kerja keras untuk menyubstitusi penggunaan BBM di luar sektor transportasi (kelistrikan, industri dan rumah tangga) yang masih sangat besar.


Untuk mewujudkan ketahanan energi yang lebih baik, seperti saya tulis sebelumnya (`Perlu Konsensus Nasional Untuk Ketahanan Energi', Kompas, 27 Mei), hendaknya sebelum Pemilu 2014 dapat dicapai konsensus nasional untuk mengurangi subsidi BBM dan juga listrik secara bertahap sampai habis. Dengan demikian, subsidi tidak lagi menjadi pertentangan politik antara pemerintah dan partai-partai oposisi yang menghabiskan banyak energi. Siapa pun pemerintah baru nantinya tinggal melaksanakan keputusan dengan beban yang lebih ringan dan dapat lebih fokus mengisi pembangunan di berbagai bidang yang sangat banyak diperlukan. 

Othak-athik Gathuk di Century

Othak-athik Gathuk di Century
Bambang Soesatyo ;   Inisiator hak angket kasus Century;
Anggota Timwas Century DPR
MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2013


TAK berlebihan jika Menteri Keuangan Sri Mulyani merasa telah dibohongi para pejabat BI yang dipimpin Gubernur Boediono. Materi yang disampaikan para pejabat BI kepada rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memang sangat dipaksakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani seakan di-fait accompli untuk menerima keputusan bahwa Bank Century ialah bank gagal berdampak sistemis.

Di sana dinyatakan, perubahan peraturan BI yang menurunkan syarat penerima fasilitas peminjaman jangka pendek (FPJP) dari rasio kecukupan modal (CAR) 8% menjadi hanya positif (0%) patut diduga dilakukan untuk merekayasa agar Bank Century dapat memperoleh FPJP. Bahkan, dalam rekaman RDG BI pada 13 November yang membahas FPJP, jelas terdengar bahwa sejak awal para pejabat BI hanya menyebut-nyebut Bank Century. Karena itu, aturan mengubah CAR dari 8% menjadi positif pun disesuaikan dengan kondisi Bank Century yang saat itu hanya memiliki CAR 2,35%. Akibat perubahan PBI itulah, akhirnya pada 14 November 2008, Bank Century mendapat kucuran dana FPJP dari BI Rp689 miliar. Inilah yang disebut lawry engineering atau rekayasa hukum untuk kepentingan tertentu.

Temuan menarik lainnya bisa ditelusuri pada RDG 20 November 2008. Kala itu, RDG membahas penetapan Bank Century sebagai bank gagal. Peserta RDG pada 20 November pukul 19.00-22.00 WIB itu ialah Gubernur BI Boediono, Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom, dan enam Deputi Gubernur BI (Hartadi A Sarwono, Siti Ch Fadjrijah, S Budi Rochadi, Muliaman D Hadad, Budi Mulya, serta Ardhayadi). Rapat itu diawali dengan presentasi Zainal Abidd din (Direktur Direktorat Pengd awasan Bank/DPB 1).

Berdasarkan transkrip rapat itu, diketahui bahwa Deputi Gubernur Siti Fadjrijah mengusulkan agar Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal. Deputi Gubernur Budi Rochadi lalu menginformasikan adanya dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan BI (YKKBI) di Bank Century. Fadjrijah menimpali dengan mengatakan adanya dana sejumlah BUMN di Bank Century.

Deputi Gubernur Muliaman Hadad juga meminta BI menyampaikan surat ke KSSK agar persoalan Bank Century dibahas di KSSK. Gubernur BI Boediono lalu `memukul gong'. Ia menegaskan di tengah situasi dan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian saat itu, ditambah dengan suasana yang rawan rumor, setiap bank dimungkinkan bakal berdampak sistemis. Karena itu, dibahaslah analisis dampak sistemis Bank Century.

Fadjrijah mengakui, secara institusi mikro, persoalan Bank Century tidak sistemis kendati dari sisi makro memang bisa sistemis. Menurut Fadjrijah, kalau melihat data Bank Century saja, bank itu tak perlu diserahkan ke LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Cukup ditutup saja. Fadjrijah juga sudah memperkirakan, di KSSK akan ada suara yang menyatakan Bank Century tidak sistemis dan tak perlu diserahkan ke LPS.

Setelah mendengar itu, Miranda Goeltom langsung menyela. “Mestinya,“ ujar Miranda, “kesimpulan di sininya sudah bilang sistemis.“ Persoalan tak lantas usai. Bukan apa-apa, berdasarkan analisis yang diajukan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, justru tak tampak jika Bank Century ialah bank gagal berdampak sistemis. Bank itu nyaris tak punya pengaruh berarti untuk institusi keuangan, terhadap pasar keuangan, terhadap infrastruktur keuangan, dan terhadap sektor riil.

Kebetulan, ketika mempresentasikan soal analisis dampak sistemis, Halim membawa data dalam bentuk matriks. Menurut Miranda, matriks itu justru menampilkan kesimpulan bahwa kasus Bank Century tak ada apa-apanya.

Muliaman Hadad pun melontarkan usul, “Matriks ini dilepas saja.“
“Lepas aja...“ ujar Boediono.

Fadjrijah dan Miranda Goeltom tidak ketinggalan menyetujui dilepasnya data matriks dari analisis sistemis Bank Century.

Begitulah, para pejabat BI yang berlatar akademis sangat mumpuni ternyata hanya mampu bermain othak-athik gathuk dalam menentukan status sistemis bagi Bank Century.

Nah, dengan analisis yang hanya seperti itu, tanpa permodelan dan perhitungan yang canggih, dan sepertinya lebih pantas dikerjakan mahasiswa ekonomi semester awal, pejabat BI menetapkan Bank Century berstatus gagal dan sistemis. Kebijakan yang memakan biaya Rp6,7 triliun uang negara.

Keputusan RDG tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK dengan Surat No 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penetapan Tindak Lanjutnya.

Siasat mengelabui Menkeu

Begitulah, RDG yang bertujuan mencari alasan ditetapkannya status sistemis bagi Bank Century usai digelar. Di sana tak dibahas lagi soal uang di Bank Century yang mengalir ke mana-mana dan pengawasan khusus oleh BI yang ternyata tidak menolong. Fokus bahasan hanya soal status sistemis. Bahasan lainnya, ya itu tadi, soal cara menyampaikan status sistemis ini ke KSSK. Jadi, beberapa informasi ditutup dan tak ditampilkan. Informasi itu pun tidak mutakhir. RDG 20 November 2008 seakan konspirasi untuk menyelamatkan Bank Century.

Berdasarkan notula Rapat Konsultasi KSSK, diketahui bahwa hanya BI yang berkeras menyatakan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemis--yang artinya perlu ditolong KSSK melalui LPS. Peserta rapat lainnya pada umumnya mempertanyakan, bahkan tidak setuju terhadap argumentasi dan analisis BI yang menyatakan Bank Century ditengarai berdampak sistemis.


BI juga tidak menggunakan indikator kuantitatif dalam melakukan penilaian terhadap dampak selain dampak pada institusi keuangan. Assessment pada tiap aspek lebih banyak didasarkan pada judgement dan mengandung sejumlah kelemahan dalam penentuan indikatornya. Sejumlah ekonom memang sulit menerima bahwa kegagalan Bank Century akan berdampak sistemis. 

Para Korban Tercinta LHI

Para Korban Tercinta LHI
Reza Indragiri Amriel ;   Anggota Asosiasi Psikologi Islami,
Akademisi Psikologi Forensik
JAWA POS, 25 Juni 2013 

  

BOCAH perempuan itu seperti tidak berhasil menemukan kata di dalam kepalanya untuk mengungkapkan apa yang dia pikir dan rasa saat itu. Dia hanya diam dalam gendongan ibunya. Sedangkan sang kakak, anak lelaki sekitar kelas dua SD, hanya bisa menangis. Perpaduan antara sedih, rindu mendalam, bingung, serta putus asa. Ayah yang dicintainya lagi-lagi sibuk bekerja dan belum bisa pulang. Sang ayah, yang berkali-kali berdalih rapat, berjalan menjauh. Baju napi berwarna oranye dia kenakan di pundaknya.

Ingatan tentang kunjungan saya ke Lapas Cipinang beberapa tahun lalu itu berkelebat lagi. Tapi, dengan sosok yang berbeda: Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan presiden PKS, yang kemarin memulai sidang perdananya dalam kasus suap kuota impor daging sapi. Andai dakwaan jaksa KPK terbukti benar, LHI yang juga dikenai pasal pencucian uang tersebut mungkin akan mengalami situasi serupa dengan narapidana pencucian uang yang saya lukiskan itu.

Sembari tetap menjunjung praduga tidak bersalah, kegeraman luar biasa berkobar menyaksikan adegan LHI di pengadilan sampai tadi malam. Satu sisi, enggan memusingkan kepala memikirkan orang yang telah mengkhianati para pendukung akar rumputnya (juga rakyat). Lain sisi, harapan agar kerja keras KPK selama ini berhilir pada dihukumnya si terdakwa seberat-beratnya.

Bagaimana kondisi keluarga LHI menjadi pusat kerisauan utama. Mereka-reka suasana batin tiga istri dan lima belas anak LHI tidak begitu mudah. Sebab, riset-riset selama ini lebih berkutat pada reaksi keluarga korban kejahatan, bukan pelaku. 

Namun sejenak, anggaplah LHI -sebagaimana diperagakan para petinggi PKS- berkilah di hadapan keluarganya bahwa dirinya hanya korban persekongkolan jahat. Dengan konteks seperti itu, hampir bisa dipastikan ada perasaan tidak terima, bahkan amarah. Gelora itu mendorong semangat kepada LHI agar berjuang mati-matian demi terkuaknya kebenaran dan keadilan sejati.

Lain ceritanya bila, seiring mengemukanya fakta-fakta dalam sidang, kian kentara peran nyata LHI dalam kejahatan korupsi sebagaimana yang dipaparkan KPK. Tersadar, bahkan tersudut, bahwa kepala keluarga mereka adalah pelaku kejahatan niscaya memunculkan keguncangan dahsyat.

Terperanjat, sosok yang selama ini diteladani karena religiusitasnya ternyata mempunyai watak dan kelakuan yang berlawanan dengan yang dihayati keluarga. Malu, status sebagai keluarga dari figur yang hingga beberapa bulan lalu masih menyandang posisi bermartabat kini tiba-tiba ikut terjerembap dalam nestapa. Kecewa, ajaran-ajaran budi pekerti ternyata hanya dikenakan kepada anak-istri dan tidak berlaku bagi diri si kepala keluarga sendiri. Juga, bingung, karena pasal pencucian uang bisa sekonyong-konyong menjerat mereka terlibat dalam kejahatan yang dilakukan suami maupun ayah mereka.

Ditambah, kemungkinan stigmatisasi oleh masyarakat. Kendati sah-sah saja, menjadi bagian dari sebuah keluarga poligami berpeluang menambah sinis cibiran khalayak luas.

Baik konteks pertama maupun konteks kedua, empati mendorong saya untuk memandang keluarga, khususnya anak-anak, LHI sebagai korban kelakuan LHI sendiri. Semakin kurang menyenangkan karena kasak-kusuk publik selama ini mengenai kehidupan perkawinan LHI justru ''dikonfirmasi'' tidak dalam sidang perdata yang lazim mengangkat isu-isu rumah tangga, melainkan dalam perkara pidana tentang kerakusan manusia.

Yang terkena getah ulah LHI memang tidak sedikit. Tidak terkecuali partai yang pernah dipimpinnya. Tapi, korban paling rapuh, paling tercederai, dan paling tidak mampu mengelak adalah keluarga LHI.

Penalarannya, sebagai orang nomor satu di partai, kecil kemungkinan tidak ada uang kotor yang tak mengalir ke partai. Demikian pula, sebagai kepala rumah tangga, nafkah untuk keluarga dari sumber yang keruh tidak tertolak. PKS bisa saja dalam tempo singkat langsung mengubah respons dari yang semula melindungi mantan presidennya dengan berbagai dalih hingga kemudian menjaga jarak dengan menyebut aksi LHI sebagai polah individual. Namun, taktik penghindaran semacam itu tentu tidak mungkin ditiru anak-anak dan istri-istri LHI. LHI dan PKS terikat sebatas dalam relasi kepartaian, sedangkan LHI dan keluarganya adalah pertalian darah.

Pertalian orang tua dan anak itu pula yang sangat berpeluang ''mewariskan'' kelakuan jahat. Begitu kesimpulan penelitian David Farrington selama 35 tahun. Dia mencermati perkembangan anak-anak dari ratusan orang tua yang dikenai sanksi atas aksi kriminal mereka. Temuannya, terlebih ketika kejahatan dilakukan saat anak-anak pelaku masih belia, anak-anak tersebut sangat berpotensi pula menjadi pelaku antisosial lainnya kelak. Sebab, ketidakkonsistenan antara pendisiplinan dan perilaku menyimpang justru terbiarkan di dalam keluarga. Semoga pewarisan negatif like father like son itu tidak terjadi. 

Bila yang berakal sehat saja tetap bisa berempati kepada keluarga LHI, semestinya LHI bisa lebih-lebih lagi. Langkah awal untuk itu sederhana saja: berhenti tersenyum di ruang sidang. Tunjukkan penyesalan!